
sumber: abighifari.wordpress.com
Akhirnya saya bisa menyelesaikan tetralogi yang sangat masyhur di kalangan pembaca di Indonesia bahkan dunia. Rasanya semua sudah tahu tentang tetralogi Buru yang dikarang oleh Pramoedya Ananta Toer. Karya yang dihasilkan Pram selama masa pembuangan di Pulau Buru ini masing-masing berjudul: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.
Saya pertama kali membaca buku pertama, Bumi Manusia, semasa kuliah. Tapi di pertengahan jalan, saya menghentikan bacaan karena waktu itu sangat kurang menikmati gaya bahasa yang ditulis Pram. Beberapa tahun setelahnya, saya pun “memulai kembali” membaca ini. Tidak tanggung-tanggung, saya menyiapkan langsung empat bukunya lengkap untuk dibaca. Sungguh sangat niat abang, dek menyelesaikan tetralogi ini.
Setelah selesai membaca, setidaknya saya beberapa hal yang sangat menarik yang saya dapatkan:
1. Keunikan Setiap Buku
Judul buku yang tersemat di masing-masing bagian tetralogi ini bukan sekadar hiasan. Maknanya diulas di sekujur buku. Dari awal hingga akhir. Di buku pertama, Bumi Manusia, cerita dibangun Pram dengan perkenalan tokoh utama, Minke, dengan dunia sekitarnya hingga akhirnya meluas. Awalnya konflik keluarga meluas menjadi isu kolonial.
Di buku kedua, Anak Semua Bangsa, Pram mulai melakukan ekspansi konflik Minke ke dunia yang lebih luas, hingga sampai ke Batavia. Juga kisah percintaan Minke mulai terekspos. Di buku ketiga, Jejak Langkah, sangat terasa nuansa organisasi pergerakan nasional ketika berhadapan dengan penjajahan kolonial Belanda.
Buku keempat, Rumah Kaca, adalah yang paling unik. Sudut pandang yang dipakai adalah sudut pandang seorang Belanda. Seorang polisi yang mencatat setiap pergerakan Minke dan sekitarnya.
2. Banyaknya Tokoh
Di buku pertama pun, tokoh sangat banyak. Selain tokoh kunci Minke, Nyai Ontosoroh, dan Annelies Mellema, ada banyak tokoh lain. Sebut saja Darsam, Robert Suurhof, Jean Marais, dan masih banyak lagi. Jujur, saya pun sudah lupa.
Di buku kedua, tokoh terus bertambah, ada Ang San Mei, Plikemboh, Trunodongso, dll. Masih banyak dan saya lupa lagi.
Di buku ketiga dan keempat juga demikian. Hans Hadji Moeloek, Siti Soendari, dll. Banyak sekali tokohnya.
3. Bagian yang “Quote-able”
Siapa yang sering mendengar atau membaca kutipan dari tetralogi Pram berikut ini:
Seorang terpelajar harus berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan.
Atau
Menulis adalah bekerja untuk keabadian
Itu adalah salah dua dari puluhan kutipan yang sering kita dapatkan. Tentu setiap orang punya bagian favorit yang hendak dikutip, begitu juga saya. Saya mendapati bagian lain yang bagus untuk dikutip adalah:
Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat tak terduga yang bisa timbul pada samudra, pada gunung berapi, dan pada pribadi yang tahu benar pada tujuan hidupnya.
Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
Setiap orang punya hak untuk menyatakan perasaan dan pikirannya.
Berbahagia melihat orang dapat menikmati hasil kerjaku. Cukup, itu sudah cukup, Tuan.
4. Garis Tipis Fiksi dan Non-Fiksi
Tetralogi Buru adalah penceritaan tentang tokoh asli di Indonesia yaitu Tirto Adhi Soerjo. Beliau adalah pelopor pers di Indonesia. Di dalam karyanya, Pram memasukkan penceritaan fiksi roman dengan kejadian yang sesungguhnya memang ada dan tercatat dalam garis waktu sejarah Indonesia. Ini adalah hal yang brilian.
Bagian yang menurut saya cukup mind-blowing adalah di buku keempat, Rumah Kaca. Di buku keempat karena sudut pandang berganti ke tokoh kolonial, maka pembaca punya sudut pandang berbalik 180°.
Selain itu, tokoh Minke diceritakan sebagai penulis tiga judul pertama tetralogi ini. Di buku keempat, catatan harian dan pekerjaan yang dibuat si polisi kolonial itu adalah buku Rumah Kaca itu sendiri.
Bingung, kan? Ya, saya juga bingung bagaimana menjelaskannya, saking takjub.
***
Isi cerita di tetralogi ini memang tidak akan habis di makan waktu. Ceritanya masih relevan dengan kehidupan sekarang. Sikap priyayi sebagian kalangan, sikap superior, dan hal lainnya seolah tetap hidup sampai kapanpun.
Adakah yang bisa menambahkan hal apa lagi yang menarik di tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer ini?
Novelnya tebal2 semua. 😀
sebanding dengan kekayaan ceritanya.hehe
Rajiiiin pol
alhamdulillah
Wah banyak. saya baru baca yang bumi manusia, itupun belum selesai
selamat melanjutkan bacanya, mba
Aku copy ya mas quotenya hehee
kutipan yg tentang “menyatakan perasaan” itu? #eh
Eh eh, suka bener 😂
haha
ku belum baca, tapi kalo dilempar bukunya pasti kubaca habis
silakan baca, mz
izin share ya…
silakan, mba
Ping balik: Menjadi Manusia Lewat Tetralogi Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer – Catatan Prangsi
Suka Pram juga ya? Aku juga pernah nulis tentang Pram https://akhlisblog.wordpress.com/2018/05/20/pramoedya-ananta-toer-sastrawan-blora-yang-mendunia-bag-1/
Kalau aku malah sekali baca langsung suka. Gaya penulisannya mengalir banget, kayak didongengi langsung.
ya, saya memfavoritkan Pram sebagai seorang penulis.
siap, meluncur ke tkp