Dulu ketika masa kuliah, jajan di warung roti yang jual kopi atau resto cepat saji adalah halyang paling saya hindari. Saat itu, harga yang ada serasa begitu sayang ditebus. Dengan nominal yang sama, segelas es kopi dengan donat bisa jadi menu makan (relatif) kenyang di warteg-warteg terdekat.
Sekarang mungkin saya tidak demikian walaupun ada rasa enggan dalam hati kecil. Untuk nominal, alhamdulillah, bisa disiasati walaupun tentu harus tetap berhemat. Kini alasan saya mungkin lebih ke seberapa “sunyi” warung roti jual kopi atau resto cepat saji tersebut.
Ya, jika tempat tersebut menawarkan “kesunyian” untuk sekadar menunggu hujan atau mencari ide untuk sesuatu, biasanya saya akan kunjungi.
Saat ini saya sedang bertugas di Pulau Lombok, NTB. Tidak banyak tempat menawarkan tempat dengan syarat di atas. Setidaknya saya bisa temukan ketika tulisan ini dibuat. Ba’da menghadiri sebuah undangan lembaga di Kota Mataram, saya sempatkan mampir di salah satu warung roti jual kopi. Suasana Kota Mataram yang mendung semakin menambah alasan saya untuk mampir agak lama. Alasannya, saya menunggu hujan menyelesaikan hajatnya dan juga saya menunggu waktu tepat untuk melewati jalur Senggigi yang punya pemandangan juara ketika matahari akan terbenam.
**
Kita selalu punya alasan untuk berpegang teguh pada sesuatu. Di waktu lain, kadang kita memperbaharui alasan kita akan sesuatu. Butuh waktu untuk memikirkan apakah alasan-alasan itu harus baru atau tetap seperti dulu.
Dan tempat semacam warung roti jual kopi ini membantu saya memecahkan itu.
—
Mataram, 29 November 2018
Sama seperti saya. Melihat, seberapa ramai? Apakah ada tempat kosong dibagian pojok atau bagian menghadap tembok?
Ketika satu prinsip mengalami perubahan, ternyata bisa juga berefek domino pada hal-hal kecil semacam ini *sok wise
sepakat ✔️✔️